Kebudayaan Provinsi Bali
I.
Pengertian
Kebudayaan
Kebudayaan adalah suatu hasil karya, cipta,
rasa, dan karsa manusia yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
menggunakan alam sekitar.
II.
Unsur-Unsur
Kebudayaan Bali
Bali memiliki
banyak macan atau varian dari pakaian adatnya. Untuk perempuan yang masih
remaja menggunakan sanggul gonjer, sedangkan perempuan atau wanita dewasa
menggunakan sanggul tagel, kemudian menggunakan sesentang atau kemben songket,
Kain wastra, Sabuk prada (stagen)
untuk membelit pinggul dan dada, Selendang songket bahu ke bawah, Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam, Beragam ornamen perhiasan, Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap. Untuk pria menggunakan ikat kepala atau udeg lalu menggunakan selendang pengikat atau umpal, kain kampuh, kain wastra, keris, sabuk, kemeja atau jas, serta ornament yang digunakan untuk menghiasi penampilan sang pria.
untuk membelit pinggul dan dada, Selendang songket bahu ke bawah, Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam, Beragam ornamen perhiasan, Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap. Untuk pria menggunakan ikat kepala atau udeg lalu menggunakan selendang pengikat atau umpal, kain kampuh, kain wastra, keris, sabuk, kemeja atau jas, serta ornament yang digunakan untuk menghiasi penampilan sang pria.
b) Rumah Adat
Rumah adat Bali harus sesuai
dengan aturan Asta Kosala Kosali ajaran terdapat pada kitab suci Weda yang
mengatur soal tata letak sebuah bangunan yang hampir mirip dengan ilmu Feng
Shui dalam ajaran Budaya China. Rumah adat Bali harus memenuhi aspek pawongan
(manusia / penghuni rumah), pelemahan (lokasi / lingkungan) dan yang terahir
parahyangan.
Pada umumnya rumah Bali di penuhi dengan pernak-pernik hiasan, ukiran serta warna yang alami lalu patung-patung symbol ritual. Bangunan Rumah Adat Bali terpisah-pisah manjadi banyak bangunan-bangunan kecil - kecil dalam satu area yang disatukan oleh pagar yang mengelilinginya. Seiring perkembangan jaman mulai ada perubahan pada bangunan dimana bangunannya tidak lagi terpisah-pisah.
Pada umumnya rumah Bali di penuhi dengan pernak-pernik hiasan, ukiran serta warna yang alami lalu patung-patung symbol ritual. Bangunan Rumah Adat Bali terpisah-pisah manjadi banyak bangunan-bangunan kecil - kecil dalam satu area yang disatukan oleh pagar yang mengelilinginya. Seiring perkembangan jaman mulai ada perubahan pada bangunan dimana bangunannya tidak lagi terpisah-pisah.
c) Makanan
LAWAR
BETUTU
SATE LILIT
d) Minuman
ES KUWUT BALI
BREM BALI
e) Senjata
KERIS BALI
f) Alat Transportasi
· Udara
g) Seni Budaya
Ø Gamelan
Ø Tarian
v Tari Legong
v Tari Oleg Tamulilingan
v Tari Kecak
Ø Bahasa
Bahasa Bali adalah
sebuah bahasa Austronesi dari cabang Sundik dan
lebih spesifik dari anak cabang Bali-Sasak. Bahasa ini terutama dipertuturkan
di pulau Bali,
pulau Lombok bagian
barat, dan sedikit di ujung timur pulau Jawa. Di Bali sendiri
Bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang disebut Bali
Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Yang halus dipergunakan untuk bertutur formal
misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara
orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Yang madya dipergunakan di
tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang
kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau
antara bangsawan dengan abdi dalemnya, Di Lombok bahasa Bali terutama
dipertuturkan di sekitar kota Mataram, sedangkan di pulau Jawa bahasa Bali
terutama dipertuturkan di beberapa desa di kabupaten Banyuwangi.
Selain itu bahasa Osing, sebuah dialek Jawa khas Banyuwangi, juga menyerap
banyak kata-kata Bali. Misalkan sebagai contoh kata osing yang
berarti “tidak” diambil dari bahasa Bali tusing. Bahasa Bali dipertuturkan
oleh kurang lebih 4 juta jiwa.
Jenis bahasa Bali :
v
Bahasa Bali Baku
v
Bahasa Bali Aga
v
Bahasa Bali Jawa
Ø Lagu daerah
Putri Cening Ayu
Putri cening ayu ngijeng cening jumah
Meme luas malu kapeken meblanja
Apang ada darang nasi
Putri cening ayu ngijeng cening jumah
Meme luas malu kapeken meblanja
Apang ada darang nasi
Meme tiang ngiring nongos ngijeng jumah
Sambilan mangempu ajak titiang dadua
Ditekane nyen gapgapin
Meme tiang ngiring nongos ngijeng jumah
Sambilan mangempu ajak titiang dadua
Ditekane nyen gapgapin
Putri cening ayu ngijeng cening jumah
Meme luas malu kapeken meblanja
Apang ada darang nasi
Putri cening ayu ngijeng cening jumah
Putri cening ayu ngijeng cening jumah
Ratu Anom
Ratu anom metangi meilen-ilen
Ratu anom metangi meilen-ilen
Dong pirengang munyin sulinge di jaba
Dong pirengang munyin sulinge di jaba
Enyen ento menyuling di jaba tengah
Enyen ento menyuling di jaba tengah
Gusti Ngurah Alit Jambe Pemecutan
Gusti Ngurah Alit Jambe Pemecutan
h) Lambang Daerah
Lambang Bali berbentuk segi
lima dan berlukiskan Bali Dwipa Jaya yang berarti Jayalah Pulau Bali.
Di dalamnya terdapat gambar bintang, Candi Pahlawan Margarana, Candi Bentar,
rantai, kipas, Yang teratai, padi dan kapas. Bintang segi lima, melambangkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Candi Pahlawan Margarana, menggambarkan jiwa
kepahlawanan rakyat Bali. Candi Bentar, lambang keagamaan yang agung rakyat
Bali. Rantai melambangkan persatuan. Kipas melambangkan kebudayaan Bali. Bunga
teratai lambang Singgasana Batara Siwa.
Sedangkan padi dan kapas melambangkan kemakmuran.
i) Agama, Adat, dan Budaya
Di Bali
dikenal satu bait sastra yang intinya digunakan sebagai slogan lambang negara
Indonesia, yaitu: Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Manggrua, yang bermakna
'Kendati berbeda namun tetap satu jua, tiada duanya (Tuhan - Kebenaran) itu'.
Bisa dipahami jika masyarakat Bali dapat hidup berdampingan dengan pemeluk
agama lain seperti Islam, Kristen, Budha, dan lainnya. Pandangan ini merupakan
bantahan terhadap penilaian sementara orang bahwa Agama Hindu memuja banyak
Tuhan. Kendati masyarakat Hindu di Bali menyebut Tuhan dengan berbagai nama
namun yang dituju tetaplah satu, Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi
Wasa.
Dewa Brahma,
Wisnu, dan Siwa, yang disebut Tri Murti, kendati terpilah tiga, namun terkait
satu jua sebagai proses lahir-hidup-mati atau utpeti-stiti-pralina. Dewata Nawa
Sanga sebagai sembilan Dewata yang menempati delapan arah mata angin dan satu
di tengah kendati terpilah sembilan lalu menjadi sebelas tatkala terpadu dengan
lapis ruang ke arah vertikal bawah-atas-tengah atau bhur-bwah-swah, adalah satu
jua sebagai kekuatan Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Demikian
pula halnya dengan nama dan sebutan lain yang dimaksudkan secara khusus
memberikan gelar atas ke-Mahakuasa-an Tuhan. Keyakinan umat
Hindu terhadap keberadaan Tuhan/Hyang Widhi yang Wyapi Wyapaka atau ada di
mana-mana juga di dalam diri sendiri - merupakan tuntunan yang selalu mengingatkan
keterkaitan antara karma atau perbuatan dan pahala atau akibat, yang menuntun
prilaku manusia ke arah Tri Kaya Parisudha sebagai terpadunya manacika, wacika,
dan kayika atau penyatuan pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik.
Umat Hindu
percaya bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus
menjadi karunia Tuhan kepada umat manusia untuk dimanfaatkan guna kelangsungan
hidup mereka. Karena itu tuntunan sastra Agama Hindu mengajarkan agar alam
semesta senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya yang dalam
pemahamannya diterjemahkan dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga jalan
menuju kesempurnaan hidup, yaitu:
Hubungan manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa dituangkan dalam bentuk ajaran agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan kepada Tuhan. Karena itu dalam satu komunitas masyarakat Bali yang disebut Desa Adat dapat dipastikan terdapat sarana Parhyangan atau Pura, disebut sebagai Kahyangan Tiga, sebagai media dalam mewujudkan hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya (pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman.
Hubungan manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga masyarakat, adalah tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga.
Pelaksanaan
berbagai bentuk upcara persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa oleh umat Hindu disebut Yadnya atau pengorbanan/korban suci dalam berbagai
bentuk atas dasar nurani yang tulus. Pelaksanaan Yadnya ini pada hakekatnya
tidak terlepas dari Tri Hita Karana dengan unsur-unsur Tuhan, alam semesta, dan
manusia. Didukung
dengan berbagai filosofi agama sebagai titik tolak ajaran tentang
ke-Mahakuasa-an Tuhan, ajaran Agama Hindu menggariskan pelaksanaan Yadnya dalam
lima bagian yang disebut Panca Yadnya, yang diurai menjadi:
1. Dewa Yadnya
Persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini umumnya dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan (tempat suci keluarga) sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut sebagai piodalan, aci, atau pujawali.
Persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini umumnya dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan (tempat suci keluarga) sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut sebagai piodalan, aci, atau pujawali.
2. Pitra Yadnya
Penghormatan kepada leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, yang melahirkan, memelihara, dan memberi warna dalam satu lingkungan kehidupan berkeluarga. Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa roh leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, sesuai dengan karma yang dibangun semasa hidup, akan menuju penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga yang masih hiduplah sepatutnya melaksanakan berbagai upacara agar proses dan tahap penyatuan tersebut berlangsung dengan baik.
3. Rsi Yadnya
Persembahan dan penghormatan kepada para bijak, pendeta, dan cerdik pandai, yang telah menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu dan tatanan budi pekerti dalam bertingkah laku.
4. Manusia Yadnya
Suatu proses untuk memelihara, menghormati, dan menghargai diri sendiri beserta keluarga inti (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang manusia Bali, terhadapnya dilakukan berbagai prosesi sejak berada dalam kandungan, lahir, tumbuh dewasa, menikah, beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara magedong-gedongan, otonan, menek kelih, pawiwahan, hingga ngaben, adalah wujud upacara Hindu di Bali yang termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.
5. Bhuta yadnya
Prosesi persembahan dan pemeliharaan spiritual terhadap kekuatan dan sumber daya alam semesta. Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan alam semesta dibentuk dari unsur-unsur yang sama, yaitu disebut Panca Maha Bhuta, terdiri dari Akasa (ruang hampa), Bayu (udara), Teja (panas), Apah (zat cair), dan Pertiwi (zat padat). Karena manusia memiliki kemampuan berpikir (idep) maka manusialah yang wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk hidup lainnya (binatang dan tumbuhan).
Panca Maha
Bhuta, yang memiliki kekuatan amat besar, jika tidak dikendalikan dan tidak
dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan hidup alam semesta.
Perhatian terhadap kelestarian alam inilah yang membuat upacara Bhuta Yadnya
sering dilakukan oleh umat Hindu baik secara insidentil maupun secara berkala.
Bhuta Yadnya memiliki tingkatan mulai dari upacara masegeh berupa upacara kecil
dilakukan setiap hari hingga upacara caru dan tawur agung yang dilakukan secara
berkala pada hitungan wuku (satu minggu), sasih (satu bulan), sampai pada
hitungan ratusan tahun.
j) Tempat Wisata
1. Tanah Lot
3. Garuda Wisnu Kencana
4. Danau Bratan
Daftar Pustaka
I GDE EKADHARMA S W
13215183/1EA01
No comments:
Post a Comment